Menghujani Ramadhan di Bulan Juni
Sudah masuk bulan Juni. Walaupun aku menulis post ini sudah hari ke dua puluh dua.
Ya, bulan Juni. Identik dengan hujan. Jadinya kan ingat dengan puisi ini, hehe.
Aku ingin mengutip kata-kata terakhir dari puisi di bawah ini. "Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu". Wallaahu a'lam apa yang dimaksud oleh si penulis puisi tentang kata-kata ini. Tapi aku ingin menjabarkan apa yang aku rasakan ketika membaca bait ini.
Ramadhan ini aku diuji dengan rasa yang selalu menghantui setiap hari. 24/7. Bayangkan. Ramadhan, yang seharusnya aku fokus pada peningkatan ibadah, tiba-tiba perasaan itu datang menyapa. Aku dihadapkan pada perasaan yang menggebu untuk menikah. Tentunya dengan yang aku kenal. Padahal interaksi kami nun di 2011. Setelah itu aku tak pernah bertemu dan bersapa dengannya. Awalnya aku terkesan dengan sikapnya. Waktu itu kami berada di tempat belajar yang sama. Hari Kamis. Aku puasa. Tenyata dia pun puasa. Eh tiba-tiba dia memberikan aku air mineral gelas untuk membatalkan puasaku. Aku ingat, hanya kata terima kasih yang aku ucapkan.
Nah, sekarang. Kita sudah sama-sama pascakampus. Setidaknya keinginan menikah sudah 'terpikirkan'. Tapiiii.... Ada tapinya. Seorang teman pernah berkata begini "dalam memberikan jodoh kepada si jomblo, Allaah ga main-main lho. Maksudku begini. Anggaplah kadar keimananmu itu 8. Hanya kamu dan Allaah yang tau ya. Nah orang yang kamu suka ternyata punya poin 9. Ya ga akan bakal ketemu lah. Jadi jangan kamu sibukkan dirimu dan memaksakan untuk menikah dengannya. Biarlah Allaah yang bekerja untuk itu. Tugas kamu hanya memperbaiki keimanan yang sering turun naik itu". Itu perkataan temanku 6 tahun lalu.
Jadi, kok seakan-akan pas dengan bait terakhir dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu. Aku membiarkan perasaanku kali ini diserap oleh kesibukanku memperbaiki diri.
Alhamdulillaah, di hari kesepuluh Ramadhan, perasaan itu sudah benar-benar terserap. Aku tak lagi sibuk memikirkannya. Pun ketika memungkinkan aku bertemu dengannya di suatu majlis ilmu, aku sudah bisa mengontrol perasaanku. Biasa saja.